10 Juni 2016

Pustaha Laklak, Aksara Batak, Mistik Gubahan Datu

Oleh Panda MT Siallagan

Salah satu warisan berharga kebudayaan Batak adalah pustaha laklak (kitab kulit kayu). Pustaha laklak ini sangat populer di kalangan orang Batak, baik generasi terdahulu maupun generasi yang lebih baru. Tapi jika dilakukan jajak pendapat, saya yakin, hampir 100 persen masyarakat Batak tidak tahu atau tidak pernah membaca buku laklak yang sebenarnya.


Inilah ironinya. Jangankan membaca pustaha laklak, membaca dan menggunakan aksara Batak saja sebagian besar orang Batak mungkin tidak mampu. Saya termasuk generasi Batak yang seumur hidup tidak pernah belajar dan mendapat pengajaran aksara Batak. Sistem pendidikan yang tak pernah serius memasukkan Aksara dan Bahasa Batak sebagai muatan lokal, patut kita curigai sebagai upaya laten menenggelamkan kekayaan khasanah budaya itu. Simpulnya jelas: pustaha laklak yang ditulis dengan aksara Batak akan tenggelam dihisap arus zaman dan kelak hanya tertinggal sebagai kisah-kisah.

Upaya transliterasi pustaha laklak ke dalam aksara latin juga jauh panggang dari api. Kita tidak tahu, kegaiban apa sesungguhnya termaktub dalam pustaha laklak itu sehingga generasi muda sering dihasut untuk tidak membacanya. Ketika saya masih kanak-kanak, racun itu dipaksa saya telan dengan sempurna: bahwa buku laklak berisi jampi-jampi atau mantera-mantera yang apabila dibaca bisa menyebabkan kesurupan atau kerasukan, jadi sebaiknya tak perlu berhasrat mengetahui isi pustaha laklak itu.

Setelah dewasa (kini mulai tua), saya mengenang petuah itu sebagai kebohongan yang bisa melenyapkan eksistensi salah satu aset budaya. Dan hingga kini, saya tidak pernah bisa menyaksikan pustaha laklak yang sebenarnya. Sebab konon, ribuan naskah kuno Batak dalam pustaha laklak itu berada di Eropa, terutama Belanda dan Jerman. Untuk melihat wujud atau manuskripnya, seseorang harus ke Eropa. Betapa menyedihkan.

Suatu kali, dalam perjalanan penuh nostalgia ke beberapa objek wisata di kawawan Danau Toba, saya terkejut menyaksikan banyak sekali suvenir pustaha laklak terpajang di toko atau kios-kios penjual suvenir wisata. Saya tanya kepada pedagang, apakah aksara yang tecatat di suvenir itu mengacu pada isi pustaha laklak yang sebenarnya? Si pedagang menjawab: tidak. Bahkan, aksara yang tertulis di suvenir itu seringkali tak punya makna, yang penting menyerupai aksara Batak.

Kenapa bisa begitu? Sebab konon, perajin suvenir ada yang buta huruf, sama sekali tak menguasai aksara Batak. Keuntungan terbaik yang bisa diperoleh dari suvenir itu adalah kebenaran aksaranya, jika kebetulan perajinnya melek aksara Batak. Maka, aksara yang tertulis dalam pustaha suvenir hanya pajangan kaligrafis hampa makna. Tapi begitupun, ide kreatif itu patut diapresiasi, paling tidak dalam konteks melestarikan ingatan generasi baru bahwa Batak punya aksara dan ribuan naskah kuno.

Pertanyaannya, apakah selama-lamanya generasi Batak akan mendiamkan pustaha itu tanpa mengetahui isinya? Dan apa sesungguhnya isi naskah-naskah itu? Apakah dalam buku laklak itu tercatat umpasa-umpasa? Apakah di dalamnya terdapat dongeng (turi-turian) atau mitos-mitos Toba yang mistis itu? Apakah di dalam laklak terdapat juga ilmu-ilmu pengobatan tradisional yang kita kenal sekarang ini? Saya pikir, harus ada proyek besar transliterasi pustaha ini, agar generasi baru bisa membacanya.

Selama ini, kita hanya tahu dari referensi terbatas. Sejumlah sumber mengatakan, pustaha laklak umumnya berisi ilmu supranatural atawa mistik Batak. Di dalamnya ada petunjuk-petunjuk hadatuon. Hadatuan itu antara lain pangulubalang, mantera tunggal panaluan, pamunu tanduk, pamodilan, gadam, pagar, simbora, dorma, paranggiron, pamapai ulu-ulu dan lain-lain.

Selain itu, terdapat juga horoskop (ilmu perbintangan) Batak yang dinamai parmesa na sampulu duwa, panggorda na ualu, pehu na pitu, parmamis na lima, tajom burik, panei na bolon, parhalaan, dan ramalan-ramalan yang digunakan memakai tubuh hewan.

Hadatuan memang termasuk warisan budaya Batak yang paling seram dan mengerikan. Sampai saat ini, fenomena sigumoang (begu ganjang) masih kerap terjadi tatanan sosial masyarakat Batak. Di mana-mana, gejalanya sama: seseorang dituduh memelihara begu ganjang dan biasanya dikaitkan dengan adanya orang sakit atau meninggal secara tidak wajar di daerah itu. Sederhananya: tuan pemilik begu menyuruh begu ganjang miliknya menyakiti atau membunuh. Dan sebagai balasan, orang itu harus diusir bahkan kerap dihakimi hingga tewas.

Selain begu ganjang, ada juga pangulubalang. Sebagaimana begu ganjang, pangulubalang juga merupakan peliharaan atau suruh-suruhan si tuan (biasanya datu) untuk menyakiti musuh atau lawan yang tak berkenaan di hatinya. Namun, ada juga pangulubalang yang khusus ditugasi mengawal rumah, kampung dan ladang. Nah, kalau kita baca, proses penciptaan pangulubalang ini memang sangat dasyat dan mengerikan dibayangkan.

Menurut TM Sihombing dalam bukunya Jambar Hata, proses penciptaan pangulubalang diawali dengan menculik seseorang dari kampung musuh lalu menjadikannya tawanan. Tawanan itu kemudian dikubur hidup-hidup dalam posisi berdiri, hanya kepala yang mencuat atau kelihatan di atas permukaan tanah. Lalu dibiarkan berhari-hari.

Setelah si tawanan kelaparan dan kehausan dalam posisi tubuh terkubur, datu berkata, "Kau akan kuberi minum dan makanan lezat, apapun yang kau mau. Tapi kau harus berjanji tunduk padaku, dan harus patuh melakukan apapun yang kuperintah."

Karena rasa haus dan lapar yang maha hebat, si tawanan itu mengiayakan. Lalu datu menyuruhnya membuka mulut. Dan si tawanan berpikir, ke mulutnya sedang dituangkan air minum, tapi yang dituang ternyata cairan timah yang sedang mendidih. Si tawanan pun mati. Setelah dibiarkan berhari-hari, lelehan mayat itu diambil dan disimpan dalam wadah, sementara tulang-belulangnya disangrai hingga jadi abu. Kedua bahan ini kemudian dicampur dengan ramuan-ramuan. Setelah itu dibuat patung. Patung dan ramu-ramuan inilah pangulubalang yang bisa dusuruh-suruh datu menghabisi lawan-lawannya.

Itulah antara sejumlah mistik yang konon tercatat dalam pustaha laklak, sehingga memang sangat mengerikan untuk dipelajari. Adapun aksara Batak, konon lahir juga dari tulisan seorang datu. Namanya Mangarapintu. Mangarapintu sempat terbawa ke langit dan di langit ia belajar dari Batara Guru tentang berbagai ilmu, termasuk ilmu aksara. Setelah ia pulang ke bumi, ia mengambil kulit (laklak) kayu dan menuliskan seluruh ilmu yang dipelajarinya. Itulah aksara dan pustaha mula-mula, yang konon naskah-naskah itu berada di Eropa. Demikianlah, semoga bermanfaat, semoga ada masukan. Horas....! ***
Bagikan:

2 komentar:

  1. Dimana kita dapat membaca PUSTAHA LAKLAK ini..

    BalasHapus
  2. HORAS ! maaf sebelumnya ada yg menjual pustaka laklak ini kebetulan dipegang oleh opung yg bersangkutan dulu. lalu beliau meninggal dan mereka akan menjualnya. sekiranya demikian dimana sy dpt menemukan pembelinya ya amang ? mauliate

    BalasHapus

Terimakasih kunjungan Anda. Salam Literal...!