11 April 2016

Ombak Sekanak, Derai-derai Perjuangan


Judul Buku: Ombak Sekanak
Penulis: Rida K Liamsi
Penerbit: Yayasan Sagang Pekanbaru
Tanggal Terbit: Juni 2013
Jumlah Halaman: 566 halaman
Jenis Cover: Hard & Soft
Kategori : Otobiografi

Sesekali nafas tercekat. Pada ketika lain, menguar rasa haru yang membuat pikiran berhenti, sekaligus berkecamuk dalam renung, betapa memang bergelombang, sarat arus dan penuh warna. Siapa yang peka terhadap nilai-nilai kehidupan, akan terhempas dalam derai-derai: tawa maupun tangis.

Itulah sekilas luapan ekspresi ketika membaca buku Ombak Sekanak karya Rida K Liamsi yang diterbitkan Yayasan Sagang, Pekanbaru, Juni 2013, sebuah memoar, sebuah buku otobiografi yang dipersembahkan Rida untuk khalayak.

Rida K Liamsi dikenal sebagai guru, wartawan, budayawan, seniman, sastrawan dan pengusaha sukses. Kini ia menjadi chairman Riau Pos Group yang mengelola kelompok bisnis media di bawah bendera Jawa Pos Group. Group Riau Pos sendiri mempunyai bisnis media yang tersebar di Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara.

Metro Siantar merupakan salah satu surat kabar dalam kelompok yang dipimpinnya. Metro Siantar sendiri kini berkembang menjadi 4 surat kabar. Tiga lainnnya: New Tapanuli, Metro Tabagsel dan Metro Asahan, berada di bawah naungan Divisi Regional Medan, bersama-sama dengan Sumut Pos, Posmetro Medan, dan Rakyat Aceh. Selain surat kabar, Riau Pos Grup juga memiliki beberapa TV lokal seperti Riau Televisi, Batam Televisi, serta Padang Televisi.

Dalam konstelasi sastra Indonesia, Rida K Liamsi termasuk penyair penting. Ia telah menerbitkan beberapa buku kumpulan puisi seperti Ode X (1971), Tempuling (2004), Perjalanan Kelekatu (2008), dan kumpulan puisi dwibahasa Rose (2013). Rida K Liamsi juga sudah menerbitkan novel, Bulang Cahaya (2007). Dan paling mutakhir adalah Ombak Sekanak (2013).  Di buku kumpulan Tempuling, Ombak Sekanak merupakan salah satu judul puisi yang terkandung di dalamnya. Rida juga banyak menulis esei-esei tentang kebudayaan, dan kerap menghadiri event-event sastra skala internasional seperti festival penyair Korea-ASEAN di Korea Selatan dan Festival Penyair Srilanka.

Banyak khalayak penasaran, siapakah Rida K Liamsi yang bisa sukses menjadi Raja Media di Sumatera Bagian Utara, tapi juga berhasil menjadi seniman dan budayawan ternama? Kehidupan seperti apa yang telah berlaku atas sosok ini, sehingga ia mampu meraih banyak cita-cita secara seimbang dan sama-sama bersinar?

Ombak Sekanak bisa menjadi jawaban sekaligus referensi untuk memahami sejarah tokoh Melayu ini. “Judul ini saya pilih untuk menandai geliat dan percikan perjalanan hidup saya yang bagaikan ombak mengalun dari tanah Sekanak, tempat saya lahir dan dibesarkan, menuju ke samudera dan gelora kehidupan di rantau orang. Tumbuh, berkembang, jatuh bangun, sakit senang dan berjuang untuk memberi arti bagi tiap hela nafas, tiap sayatan musim yang diberikan Allah. Sebisanya, seridha-Nya. Hidup memang begitu indah, tetapi juga begitu penuh tantangan, yang membuat kita jatuh bangun bersamanya,” demikian Rida K Liamsi mengantar memoar Ombak Sekanak.

Rida K Liamsi tumbuh dan besar di kampung Bakong,  Singkep, Kepulauan Riau. Bakong terletak di bibir pantai yang sebagian berpasir putih dan sebagian dipenuhi hutan bakau yang berlumpur. Tapi kampung itu akrab disebut sekanak, negeri yang tak bisa dikalahkan. Nama sekanak dilekatkan pada Bakong, konon menurut cerita para tetua, karena kampung itu didirikan orang-orang yang berasal dari sebuah tempat bernama Sekanak di Palembang. Mereka datang membangun pusat pertahanan setelah habis diserang Majapahit. Mereka tentu turut membawa adat dan tradisi mereka.

Dalam situasi kampung yang demikian itulah Rida hidup pada masa kanak-kanak. Ayahnya seorang dai, selalu bepergian ke daerah-daerah untuk mengajar anak-anak mengaji dan sembahyang. Rida mengenang ayah sebagai lelaki pendiam, tapi keras dan teguh pada prinsip, jarang sakit dan tegar seperti batu karang. Rida tumbuh meneladani karakter-karakter bersahaja ayahnya.

“Orang hidup ini, jangan setengah-setengah. Kau kelak, kalau mau sekolah, ya sekolah. Jangan setengah-setengah. Hidup ini tak boleh takut. Kalau ada apa-apa ya berserahlah kepada Tuhan,” itu petuah sang ayahanda menghunjam saat Rida akan berangkat sekolah ke Tanjung Pinang.

Demikianlah hidupnya mengalir. Ia kemudian menjadi guru sembari mengaktualisasikan bakat seninya. Ia sebenarnya ingin jadi seorang pelukis, namun entah bagaimana sastra memanggilnya lebih karib. Saat memulai karir sebagai guru, saat terjadi konfrontasi Indonesia dan Malaysia, gaji guru tak mencukupi karena harga-harga sangat tinggi akibat dampak konfrontasi. Rida lalu memutuskan untuk beralih jadi kelasi kapal, berlayar mengarungi laut di sekitar Singkep, Tanjung Pinang, Jambi, Palembang, Bangka dan sekitarnya.

"Aku belajar memikul goni berisi arang bakau yang beratnya rata-rata 30 kg. Hari-hari pertama aku melakukannya, bahuku menjadi lecet dan merah. Mengelupas. Memar. Berminggu-minggu pedih rasanya. Juga telapak tanganku…” ujar Rida (hal. 57)

Setahun lebih Rida bergulat dengan laut, hingga akhirnya berhenti. Ia meninggalkan kapal karena kesedihan mendalam. Sebab, pada saat kapalnya berlayar, ayahnya meninggal dan ia memutuskan kembali ke daratan. “Jangan-jangan nanti saat aku berlayar, ibuku pula yang pergi ke pangkuan Illahi,” katanya.

Ia kemudian mencoba melamar ke pertambangan timah, tapi sedang tidak ada lowongan. Akhirnya, ia bekerja sebagai karyawan toko buku di Dabo Singkep, milik Habib Al Idrus, orang Malaysia keturunan Arab. Ketika bekerja di toko buku itulah ia kembali bergabung dengan teman-teman semasa sekolah. Dan tentu saja, ketika di toko buku itulah dia punya kesempatan membaca banyak buku-buku secara gratis, termasuk berkenalan lebih dekat dengan pujaannya Chairil Anwar dan Bung Karno melalui bacaan. Tak lama di toko buku, dia kembali jadi guru. Dia aktif lagi menulis dan berkesenian, hingga kadang-kadang menelantarkan tugas-tugas sebagai guru. Saat itu, Rida menggunakan nama pena Iskandar Leo. Nama Iskandar Leo inilah yang dulu berkibar sebagai penyair. Rida K Liamsi sebenarnya bernama asli Ismail Kadir. Rida K Liamsi adalah bacaan terbalik dari Ismail Kadir. Nama Ismail Kadir inilah yang dikenal sebagai. Sebagai penyair ia bernama Iskandar Leo, dan sebagai wartawan hingga pengusaha sukses, ia dikenal Rida K Liamsi hingga kini.

Pada usia 26 tahun, Rida menikah dengan Asmini Syukur, yang juga berprofesi sebagai guru. Banyak tantangan yang harus dihadapi pasangan guru miskin ini. Lagi-lagi, Rida memutuskan berhenti jadi guru. Dia lalu menjadi wartawan TEMPO sekian lama. Pada masa di TEMPO itulah ia berkenalan dengan Dahlan Iskan, tapi perkenalan itu mengendap karena Rida kemudian mundur dari TEMPO dan kembali ke Pekanbaru, mengurus surat kabar Genta, surat kabar satu-satunya di Riau ketika itu.

Riwayat bersama Genta juga berakhir. Ia mencoba melamar ke KOMPAS dan Suara Karya, tapi Suara Karya lah yang terlebih dahulu menerimanya. Oleh Suara Karya, Rida ditugas meliput ke berbagai tempat seperti Aceh, Lampung dan kota-kota lain, hingga akhirnya dimagangkan jadi asisten redaktur di Jakarta, lalu dikirim ke Surabaya mengelola halaman khusus Surabaya yang diberi nama Rek Ayo Rek.

Lalu tiba pada 1990, ia ditugasi mewawancarai Dahlan Iskan, terkait kesebelasan Persebaya yang kalah dengan Persib Bandung. Pendukung Persebaya waktu itu bertindak tidak terima kekalahan Persebaya dan meluluh-lantak beberapa stasiun kereta api. Rida akan mewawancarai Dahlan sebagai Manajer Tim Persebaya ketika itu. Dahlan sudah berhasil membangun Jawa Pos, kantornya sudah bagus dan membuat Rida terhenyak. Tapi setelah bertemu di kantor Jawa Pos, mereka berbincang ngalor ngidul, hingga akhirnya lupa atau sengaja melupakan wawancara soal bola. Dahlan malah berkata pada Rida, “Alah, sudahlah itu, Rid. Untuk apa? Ayo kita bikin koran di Riau. Anda berani?”

Itulah mula perjuangan, kerja keras, kepedihan, jatuh bangun, kebahagiaan hingga kemudian sukses. Riau Pos Group kini sudah besar di tangan Rida K Liamsi. 

Dan semua periode itu dilalui dengan sangat sulit, bahkan kadang-kadang menyakitkan, terlebih ketika ia harus berkali-kali meninggalkan istri dan anak-anak selama masa-masa perjuangan. Tentang hal ini, Rida menulis wejangan penuh jiwa dan kesadaran hati yang sangat lembut:

“Di usia yang bertambah, kadang-kadang aku selalu luluh dan menangis saat-saat sujud di hadapan Tuhanku Yang Maha Mengetahui dan Mengakui bahwa aku harus membayar sangat mahal untuk keluargaku ini karena proses perjalanan karirku yang bagai gelombang laut ini. Aku tak tahu sejauh mana anak-anakku kemudian memahami apa arti yang aku lakukan itu. Aku yakin suatu hari, mereka akan paham, mereka akan menyadari bahwa setiap karir, setiap upaya, betapapun kecil, selalu harus punya konsekwensi. Harus ada korban, harus ada yang mengalah, harus ada toleransi dan juga harus ada yang benar-benar sadar dan menanyai dirinya, ‘Apakah semua yang terjadi dan dilakukan itu, adalah yang terbaik untuk kita.’ Untuk anak, istri, keluarga dan mereka yang menjadi bagian dari perjalanan hidup kita ini. Harus ada dan harus mau. Karena akhirnya mereka punya anak. Dan anak-anak itu juga akan segera berhadapan dengan badai kehidupan….” (hal 118).

Demikianlah buku ini dikemas dengan bahasa renyah, ringan dan lancar. Alurnya maju mundur, sehingga meski buku dibagi ke dalam beberapa bab untuk memberikan batasan periode dan kisah-kisah tertentu, tapi seluruhnya adalah satu kesatuan yang tidak bisa lepas bab demi bab. Tentang Rida di mata para sahabat, juga disertakan tanggapan atau pendapat beberapa tokoh, baik politisi, akademisi, sastrawan maupun seniman.

Buku Ombak Sekanak bersama-sama dengan Rose telan diluncurkan di Ballroom Hotel Aryaduta, Pekanbaru, Sabtu (12/10). Acara dihadiri lebih dari 600 undangan seperti Meneg BUMN Dahlan Iskan  dan para CEO, pemimpin redaksi dan pimpinan perusahaan JPNN se-Indonesia. Selanjutnya, di pelantar De’Patros komplek Harbour Bay, Batuampar, Batam, Sabtu (19/10) malam, kedua buku ini kembali diluncurkan (re-lounching).

Dahlan Iskan Way

Di dalam Ombak Sekanak, Rida K Liamsi mengisahkan, sukses Riau Pos menjadi sebuah grup besar tak lepas dari peran Dahlan Iskan sebagai pemimpin yang mumpuni. Di Jawa Pos Grup, Dahlan mengajarkan bagaimana membangun landasan bisnis media yang baik. Dahlan paling tidak meletakkan 4 prinsip manajemen yang harus dijalankan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Empat prinsip itu adalah: focus (fokus), care (peduli), creative (kreatif) dan visioner (berpandangan jauh ke depan).

“Kami juga punya satu corporate culture: Kerja Keras, Tumbuh Bersama dalam Kebersamaan. Coporate Culture ini Pak Alwi Hamu yang pertama mencetuskannya. Itulah rahasia suksesnya, itulah kita berkembangnya. Dan aku ada di dalam system ini, sebagai salah satu bagian, saksi dari seluruh pengalaman dan perjalanan bisnis itu. Prinsip manajemen yang diletakkan Pak Dahlan Iskan itulah yang kemudian sering kami namakan Dahlan Iskan Way,” ujar Rida K Liamsi (hal.242-243).

Demikianlah, keberhasilan bukan sesuatu yang diraih begitu saja, bukan sebuah kebetulan, dan bukan hanya retak tangan atau nasib baik. Tapi adalah sebuah kerja keras, sebuah proses manajemen yang digeluti sepenuh hati. “Fokus! Fokus! Fokus,” demikian Rida mengutip Dahlan Iskan.

Dan, tak ada satupun anak perusahaan di Jawa Pos Group dimulai dengan investasi yang besar dan fasilitas berlimpah. Semua dimulai dari kecil, dan yang sederhana. Yang penting berfungsi, mesin cetak bekas, komputer bekas, kantor kecil dan fasilitas yang terbatas. “Yang besar itu semangat dan keyakinan, kata Pak Dahlan. Karena kepedulian terhadap asset yang dimiliki, menjaga apa yang dimiliki, betatapun itu sederhana, membuat kami bisa tumbuh dan berkembang,” tulis Rida.

Pada akhirnya, kreativitas dan sikap pantang menyerah menjadi keharusan yang dikisahkan Rida K Liamsi sebagai implementasi prinsip manajemen, dan tentu saja harus berpikir jauh ke depan.

“Sementara pelajaran bisnis dari Pak Dahlan kini lebih banyak mengalir melalui tulisan-tulisannya yang muncul secara tetap di koran-koran milik JP Group; Manufacturing Hope (memproduksi harapan). Memelihara optimisme untuk Indonesia yang lebih maju. Tesisnya cuma satu: Kerja! Kerja! Kerja! Demi Indonesia!

Buku ini ditutup oleh Maman S Mahayana, kritikus sastra Indonesia terkemuka, yang pada tahun 2009 menjalani tugas mengajar sebagai dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. Maman mencoba memahami Rida K Liamsi lewat pembacaan sebuah puisinya berjudul Tempuling. Mahluk apakah gerangan Tempuling? Untunglah, kata Maman, tempuling bisa ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Disebutkan, tempuling adalah tombak pendek untuk menangkap ikan besar; menempulingi bermakna menangkap ikan dengan tempuling.

Menurut Maman, tempuling, bagi nelayan (Melayu) dalam konteks menangkap ikan adalah symbol heroisme, setara badik (Bugis), clurit (Madura), rencong (Aceh) dan mandau (Dayak).

Jadi, tempuling bukan sekadar tombak penangkap ikan, Di belakangnya ada kisah tentang kepiawaian seorang nelayan. Dengan demikian, tempuling laksana simbol bagi para nelayan yang sudah sangat berpengalaman. Senjata itu akan mengantarkannya jadi nelayan sejati: jawara. (hal. 534). Dan agaknya, Rida K Liamsi adalah nelayan piawai itu, sang jawara itu. (Panda MT Siallagan)
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar