17 April 2016

Allen, Medsos, Moloch

Oleh Panda MT Siallagan



Andai Allen Ginsberg hidup di sini dan kini, puisi seperti apakah kiranya tercipta untuk Sonya Depari dan ayahnya itu? Ia mungkin akan menulis sajak panjang penuh gelombang dan seruan kemanusiaan. Dan saya bayangkan ia menghujat media sosial (medsos) yang begitu keji mengirim kematian ke ruang jiwa Sonya yang rentan. Hei Medsos, anak revolusi teknologi, kaukah Moloch yang buas, cahaya pemanggil kematian itu?

Sebagaimana Allen ‘menggampar’ revolusi industri sebagai biang kehampaan jiwa, ia mungkin berteriak juga tentang medsos yang masif itu, produk revolusi teknologi itu, yang ‘menghancurkan’ banyak sendi dan nilai kehidupan tanpa keberimbangan yang patut atas penghargaan terhadap kemanusiaan. Medos yang dioperasikan penuh sensasi, penyamaran, bual hampa, hipokrisi, kebohongan dan percikan-percikan narsisme maksiat menyerupai racun.

Kita tahu, sebelum tragedi Sonya meliuk-liuk merongrong jiwa, medsos telah pula terlebih dahulu mengobrak-abrik kepekaan nurani publik dengan hujatan-hujatan mengerikan tentang LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Kini wacana LGBT sudah senyap, Sonya juga hening dalam derita. Tak ada yang bertanggungjawab. Tak ada yang merasa bersalah.

Dan kita was-was menanti, Medsos barangkali akan kembali menerjang mangsa-mangsa lain dalam perang yang timpang. Saya membayangkan: ketika LGBT diserang, kaum itu merunduk seperti gerombolan anak-anak di depan serdadu bersepatu lars dan senjata lengkap, pun ketika Sonya dihujat, dia adalah anak belia yang panik dibantun rasa takut atas berondongan bom dari berbagai penjuru. Dan ayahnya pergi untuk selama-lamanya. Betapa pedihnya.

Penyair mestinya marah dan berteriak: "Go f*** yourself with your atom bomb," seperti Allen berkecam dalam sajaknya berjudul America. Tapi kita saksikan, penyair tak lagi hadir dalam tragedi itu semacam itu. Atau mungkin hadir, tapi hanya menyair di bilik-bilik sunyi, menangis menerka-nerka retak batinnya. Atau tiada mungkin corong untuk syair serupa itu, atau barangkali syair serupa itu tak lagi punya tempat. Kita, barangkali, telah mati jua ditetak homogenisasi standar kualitas persyairan. Syair-syair protes sosial kian jauh dan menjauh. Ke manakah para pemuja Rendra itu?

Inilah barangkali yang dimaksudkan Allen dengan 'puisi terpisah dari tubuhnya'. Dalam sebuah sesi wawancara dengan Radio Voice of America (VOA), Ginsberg mengatakan hal itu dalam kaitannya dengan revolusi industri, yang telah melahirkan hegemonisasi atas segala hal, termasuk puisi. Orang-orang kemudian menjadi lebih abstrak dan birokratis ketika bicara tentang puisi, terpisah dari situasi-situasi dimana puisi mestinya lahir dan bersuara.

Sesungguhnya, kita kini sedang berhadapan dengan perang sosial yang dikumandangkan teknologi. Batas kalah atau memang, hanya setipis jiwa, kita tinggal memilih. Maka, hujatan-hujatan yang ditanggungkan seseorang akibat teknologi, sama kuatnya dengan solidartias yang bisa menggelegar seperti sebuah ledakan. Ketika terjadi sebuah bencana, misalnya, teks-teks akan segera berhamburan, baik puisi maupun tidak, yang secara substansial menyerukan kebersamaan mengharukan. Telah berulang kita saksikan, bencana bisa membuat orang-orang sedemikian spontan dan produktif dalam hal berbagi rasa. Di sini teknologi hadir sebagai sosok perekat sosial. Sejenak, segala sindiran, kecaman dan keluhan, menjadi musnah. Dan kesadaran kolektif yang menyeruak itu mengingatkan bahwa kita memang mahluk sosial.

Tapi mengapa puisi seolah menjauh? Mengapa Allen Ginsberg?

Penyair besar ini akan selama-lamanya dikenang dengan jiwa sosialnya yang kuat, setia kawan, tak pernah takut menantang kesewenang-wenangan yang menyebabkan penderitaan bagi manusia. Ia mencintai kemanusiaan dengan segala warnanya sebagaimana ia mencintai puisi sepenuh iramanya. Meski untuk itu, ia kadang-kadang menderita, seklaigus menangis untuk kisah-kisah penuh cinta.

Demikianlah Allen, sosok penentang perang Vietnam itu. Sesungguhnya, Allen tak hanya mengutuk atas perang Vietnam, tapi juga mengecam seluruh aksi kekerasan mulai dari kekejaman Nazi, pembantaian kulit hitam oleh Belgia di Kongo, kamp konsentrasi Gulag di Rusia, bahkan kekerasan yang terjadi di Indonesia pada saat penggulingan Soekarno tahun 1965-1966 yang menyebabkan setengah juta jiwa komunis tewas terbantai. Dalam wawancara dengan VOA itu, Ginsberg dengan tegas mengatakan bahwa pembantaian itu berada di balik dukungan America.

Aksi-aksi kekejamanan itu, menurut Allen, sangat mungkin meluas dan membesar karena politik juga kian terpisahkan dari tubuh rakyat yang sebenarnya. "Poetry got separated from the body and politics got separated from real people's body actually. So that it was possible to have vast holocausts like the Nazi concentration camps, or the Belgian slaughter of Blacks in the Congo at the beginning of the 20th century, or the vast concentration camps and Gulags in Russia, or vast massacres that the United States comiited in Central America and elsewhere, as the half-million 'reds' killed with the US-backed overthrow of Sukarno in Indonesia 1965-1966," demikian Allen dalam wawancara itu. (Forum Series Vol.1 American Writing Today).

Bersama Jack Kerouac dan William Burroughs, Allen adalah tokoh gerakan sastra Beat Generation yang mencuat dan berpengaruh luas pada 1950-an. Ia kontroversial dan berperan penting dalam revolusi pemikiran Amerika selama tahun 1960an. Akibat aksi unjuk rasa anti perang di New York, ia ditangkap bersama ratusan demonstran lainnya.

Ketika AS riuh atas penyusunan undang-undang terkait perilaku homoseksual yang dianggap sebagai tindak kejahatan, Allen malah memperkenalkan karyanya berjudul Howl, sebuah puisi tentang keintiman heteroseksual dan homoseksual yang fulgar dan tabu. Howl menyebabkan Ginsberg dikenal sebagai tokoh homoseksualitas yang cabul. Puisi ini sempat dilarang karena menggunakan kata-kata cabul yang dinilai bisa merusak moral masyarakat. Tapi pengadilan memenangkan Ginsberg.

Lahir 3 June 1926 di Newark, New Jersey, Allen anak kedua dari penyair Louis Ginsberg. Salah satu puisi ayahnya yang terkenal adalah “Waterfalls of Stones”. Sastra dan puisi memang sudah karib dengan Allen sejak kanak-kanak sebab ayahnya kerap membacakan padanya puisi-puisi Emily Dickinson, YB Keats, Edgar Alan Poe dan lain-lain. Tentang ayahnya, Allen bicara tentang pentingnya unsur musik dalam puisi. "Dia menulis lirik-lirik tradisional, tapi kau tahu, dia tidak beryanyi," katanya.

Di kelak hari, ia memang intim dengan musik. Puisi-puisinya banyak mempengaruhi kaum budayawan dan musisi. Bob Dylan, musisi Amerika legendaris, kerap mengadopsi gaya puisi Generasi Beat ke dalam gubahan lagu-lagunya. Karena obsesinya pada Ginsberg, John Lennon bahkan mengganti nama band-nya dari ‘Beetles’ menjadi ‘Beatles’, mengacu Beat Generation.

Allen menjalani kehidupan masa kanaknya dengan kondisi ‘kegilaan’ yang menyedihkan karena ibunya, Naomi, mengalami skizofrenia kronis dengan emosi yang kacau. Tahun 1947, Allen menyetujui ibunya menjalani Lobotomi, bedah pemotongan saraf otak. Penderitaan bertahun-tahun berakhir dengan kematian sang ibu. Ratap kesedihan Allen tertulis dalam puisi Kaddish, sajak liris religius sebagai penghormatan untuk ibunya.

Allen terlibat dalam hampir seluruh bidang kesenian. Saat pergi ke London tahun 1965 bersama tokoh-tokoh Beat lain, mereka melakukan pembacaan puisi dan memunculkan Gerakan London Bawah Tanah yang bermarkas di UFO Club. Di situlah band-band besar seperti Pink Floyd dan The Soft Machine muncul. Bob Dylan menganggap Allen Ginsberg sebagai salah satu tokoh sastra yang dia kagumi. Tahun 1965, Allen tampil dalam video Bob Dylan Subterranean Homesick Blues dan tahun 1977 mendapat peran  di film Dylan berjudul 'Renaldo and Clara.' Tahun 1970, ia mendirikan sekolah puisi The Jack Kerouac School of Disembodied Poetics di Trungpa's Naropa Institute in Boulder, Colorado. Tahun 1980 Allen bergabung dengan kelompok punk rock dan muncul di album “Combat Rock” dan tampil bersama dengan mereka di panggung.

Tahun 1972, Allen memperoleh National Book Award untuk bukunya The Fall of America: Selected Gay Poems and Correspondence, sebuah koleksi puisi dan surat-surat antara Ginsberg dan Peter Orlovsky, yang terbit pada 1978. Pada 1984 diterbitkan kumpulan puisinya, Collected Poems 1947-1980, setebal 800 halaman. Ginsberg meninggal karena kanker pada 5 April 1997. ***

(Sumber: Sumut Pos, 17 April 2016)
Bagikan:

0 komentar:

Posting Komentar